KATA PENGANTAR
Segala
puji bagi Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami panjatkan puja
dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa selesaikan makalah ini
mengenai Sejarah Hadits : Pra Kodifikasi dan Kodifikasi Hadits.
Makalah
ini sudah selesai kami susun dengan bantuan dan pertolongan dari
berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang sudah ikut
berkontribusi didalam pembuatan makalah ini.
Terlepas
dari semua itu, kami menyadari seutuhnya bahwa masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh
karena itu, kami terbuka untuk menerima segala masukan dan kritik
yang bersifat membangun dari pembaca sehingga kami bisa melakukan perbaikan
makalah ini sehingga menjadi makalah yang baik dan benar.
Akhir
kata kami meminta semoga makalah tentang Sejarah Hadits : Pra Kodifikasi
dan Kodifikasi Hadits ini bisa memberi manfaat ataupun inspirasi pada pembaca.
Bandung, 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata
Pengantar ................................................................................................................. i
Daftar
Isi ......................................................................................................................... ii
BAB
I : PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar
Belakang.....................................................................................................
1
B. Rumusan
Masalah ................................................................................................ 1
C. Tujuan
.................................................................................................................. 1
BAB
II : PEMBAHASAN 2
A. Pengertian
Kodifikasi ........................................................................................... 2
B. Sejarah
Kodifikasi Hadits .................................................................................... 2
1.
Eksistensi Hadits Pada Masa Nabi
Muhammad Saw ..................................... 3
2.
Eksistensi Hadits Pada Masa Sahabat dan
Tabi’in ......................................... 4
3.
Eksistensi Hadits Pada Abad ke-2
Hijriyyah ................................................. 6
4.
Eksistensi Hadits Pada Abad ke-3
Hijriyyah ................................................. 7
5.
Eksistensi Hadits Pada Abad ke-4 sampai
ke-5 Hijriyyah ............................. 8
6. Eksistensi
Hadits Pada Abad ke-6 sampai Sekarang ..................................... 9
BAB
II : KESIMPULAN ....................................................................................... .......11
Daftar
Pustaka ................................................................................................................ 12
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sudah menjadi anggapan umum di kalangan
masyarakat bahwa ilmu hadits dan seluk – beluknya tergolong sebagai ilmu
pengetahuan yang sangat pelik. Apalagi bagi mereka yang belum memahami dengan
baik sejarah penghimpunan hadits Nabi, berbagai istilah, kaidah yang dikenal
dalam ilmu hadits dan metode penelitian kualitas hadits.
Kenyataanya, kitab – kitab yang memuat
hadits Nabi cukup banyak dan beragam, dilihat dari sisi penghimpunannya, cara
dan sistem penghimpunannya ataupun masalah yang dikemukakan dan bobot
kualitasnya. Bahkan kitab – kitab tersebut sudah memuat periwayatan hadits
secara lengkap, baik matan maupun sanadnya.
Namun, pada kesempatan ini penulis akan
memaparkan bagaimana peristiwa sejarah penghimpunan hadits, karena sebelum kita
memahami sebuah hadits, alangkah baiknya kita juga memahami peristiwa
bagaiamana hadits Nabi terhimpun sedemikian rupa, sehingga pada saat ini umat
merasa dimudahkan, dimana hadits – hadits juga banyak tersebar dengan bentuk
E-book ataupun kajian kajian berupa artikel di internet.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa itu kodifikasi hadits?
2.
Bagaimana peristiwa sejarah kodifikasi
hadits ?
3.
Bagaimana keadaan kodifikasi hadits pada
jaman sekarang ?
C. Tujuan
Mahasiswa teknik informatika dapat
mengetahui apa yang disebut dengan kodifikasi hadits, serta dapat mengenal
peristiwa sejarah kodifikasi hadits dimulai dari pra-kodifikasi hingga keadaan kodifikasi
hadits pada jaman sekarang.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Kodifikasi
Kata kodifikasi dalam bahasa arab
dikenal dengan nama al-tadwin yang berarti coification, yaitu mengumpulkan dan
menyusun. Secara istilah kodifikasi adalah penulisan dan pembukuan hadis Nabi
secara resmi berdasar perintah khalifah
dengan melibatkan beberapa personel yang ahli dalam masalah ini , bukan yang
dilakukan secara perseorangan atau unuk kepentingan pribadi (Idri, 2010:98).
Dengan kata lain tadwin al-hadits
(kodifikasi hadis) adalah penghimpunan penulisan, dan pembukuan hadits Nabi
atas perintah resmi dari penguasa negara (khalifah), bukan dilakukan atas
inisiatif perseorangan atau untuk keperluan pribadi(Idri, 2010:98).
Kodifikasi hadis dimaksudkan untuk
menjaga hadis Nabi dari kepunahan dan kehilangan baik dikarenakan banyaknya
periwayat pengahafal hadis yang meninggal maupun karena adanya hadis-hadis
palsu yang dapat mengacaubalaukan keberadaan hadits – hadits Nabi(Idri,
2010:99).
B. Sejarah Kodifikasi Hadits
Ide penghimpunan hadis Nabi secara
tertulis pertama kali dikemukakan oleh ‘Umar Ibn al-Khatab. Sebagian ulama
berndapat sebagaimana dalam Kiab Thabaqa ibn Sa’ad, Tahdzib al-Tahdzib dan Tadzkirah al-Huffazh. Bahwa pengumpulan
hadis sudah dimulai pada masa ‘Abd
al-Aziz ibn Marwan ibn Hakam yang saat itu menjabat sebagai Gubernur di Mesir.
Ia memerintahkan Katsir ibn Murrah al-Hadhrami untuk mengumpulkan hadits
Rasulullah(Idri, 2010:99).
Kodifikasi Hadis secara resmi terjadi
pada masa Khalifah Umar ibn ‘Abd al-Aziz,salah seorang khalifah Bani Umayah.
Proses kodifikasi hadits yang baru dilakukan pada masa ini dimulai dengan
khalifah mengirim surat keseluruh pejabat dan ulama diberbagai daerah pada
akhir Tahun 100 H yang berisi perintah agar seluruh hadits Nabi di masing –
masing daerah segera dihimpun. Muhammad ibn Syihab al-Zuhri berhasil menghimpun
hadits dalam satu kitab sebelum khalifah meninggal dunia yang kemudian dikirim
oleh khalifah ke berbagai daerah, untuk bahan penghimpunan hadits selanjutnya.
Umar juga memerintah Abu Bakar Muhammsa ibn ‘Amr ibn Hazm untuk mengumpulkan
hadits yang terdapat pada Amrah binti ‘Abd al-Rahman(murid kepercayaan ‘Aisyah)
dan Qasim ibn Muhammad ibn Abi Bakar al-Shiddiq(Idri, 2010:100).
1.
Eksistensi
Hadits Pada Masa Nabi Muhammad SAW
Pada periode ini dikenal dengan masa
penyebaran hadits atau pembentukan masyarakat islam. Rasulullah hidup di
tengah-tengah masyarakat dan sahabatnya. Segala perbuatan ,ucapan, dan sifat
Nabi saw bisa menjadi contoh yang nyata dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
pada masa tersebut. Masyarakat menjadikan Nabi saw sebagai panutan dan pedoman
dalam kehidupan mereka.. jika ada permasalahan baik dalam ibadah maupun
kehidupan duniawi meraka akan bisa langsung bertanya pada Nabi saw (Suntiah,2011:29).
Kabilah-kabilah yang tinggal jauh diluar
kota Madinah pun juga selalu berkonsultasi pada Nabi saw.dalam segala
permasalahan mereka. Dan ketika mereka kembali ke kabilahnya ,mereka segera
menceritakan pelajaran (hadits Nabi saw) yang baru mereka terima (Suntiah,2011:29).
Selain itu, para pedagang dari kota
madinah juga sangat berperan dalam penyebaran hadis. Setiap meraka pergi
berdagang,sekaligus juga berdakwah untuk membagikan pengetahuan yang mereka
peroleh dari Nabi kepada orang – orang yang mereka temui (Suntiah,2011:29).
Faktor-faktor yang mendukung percepatan
penyebaran hadis dimasa Rasulullah adalah :
1.) Rasulullah
sendiri rajin menyampaikan dakwahnya;
2.) Karakter
ajaran islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang
dilingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama
ini,selanjutnya secara otomatis tersebar ke orang lain secara berkesinambungan;
3.) Peranan
istri Rasulullah dalam penyiaran hadis termasuk di dalamnya (Suntiah,2011:30).
Pada jaman ini, Rasulullah masih melarang
untuk menulis hadits dalam satu catatan. Maksudnya melarang Al Qur’an dan
Hadits ditulis dalam satu catatan. Karena pada saat ini firman Al Qur’an dan
Hadits sama sama keluar dari ucapan Rasulullah. Dikhawatirkan sahabat tidak
bisa membedakannya.(Zein,2016;60)
2.
Eksistensi
Hadits Pada Masa Sahabat dan Tabi’in
Sedikit saja
para sahabat yang pandai menulis . karenanya pegangan mereka dalam menerima
hadist dari nabi, ialah kekuatan hafalan . mereka menerima hadist ada kalanya
dengan musafahah, ada kalanya dengan musyahadah, adakalanya dengan jalan
mendengar dari sesame sahabat karna mereka tidak dapat serentak menghadiri
majlis nabi SAW . Oleh karena yang hadir dihadapan nabi
SAW. Dikala beliau memberikan fatwanya terkadang-kadang banyak, terkadang-kadang
sedikit, berbeda-beda martabat riwayat yang diterima dari nabi SAW (Shiddieqy,1965
:30)s
1.) Masa
pemerintahan Abu Bakar dan Umar ibn Khattab
Setelah rasul wafat, banyak sahabat yang
berpindah ke kota-kota diluar madinah. Sehingga memudahkan untuk percepatan
penyebaran hadits. Namun dengan semakin mudahnya para sahabat meriwayatkan
hadits dirasa cukup membahayakan bagi otentisitas hadits tersebut. Maka
khalifah abu bakar menerapkan peraturan yang membatasi periwayatan hadits.
Begitu juga Khalifar Umar ibn Khattab. Dengan demikian periode tersebut disebut
dengan periode masa pembatasan periwayatan padits atau masa pengokohan dan
penyederhanaan riwayat hadits (Suntiah,2011;31).
Pembatasan tersebut dimaksudkan agar
tidak banyak dari sahabat yang mempermudah penggunaan nama Rasulullah dalam
berbagai urusan, meskipun jujur dan dalam permasalahan yang umum. Namun
pembatasan tersebut tidak berarti bahwa kedua Khalifah tersebut anti
periwayatan, hanya saja beliau sangat selektif terhadap periwayatan hadits.
Segala periwayatan yang mengatasnamakan Rasulullah harus dengan mendatangkan
saksi (Suntiah,2011;30).
Abu Hurairah sahabat yang terbanyak
meriwayatkan hadits , pernah ditanya oleh Abu Salamah, apakah ia penah meriwayatkan
hadits di masa Umar, lalu ia menjawab “sekiranya aku meriwayatkan hadits dimasa
Umar seperti hal nya aku meriwayatkannya kepadamu (memperbanyaknya), niscaya
Umar akan mencambukku dengan cambuknya (Suntiah,2011;30).
Riwayat Abu Hurairah tersebut menunjukan
ketegasan Khalifah Umar dalam menerapkan peraturan pembatasan riwayat hadits pada
masa pemerintahannya (Suntiah,2011;31-32).
2.) Masa
Pemerintahan Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib
Secara umum, kebijakan pemerintahan
Utsman ibn Affan dan Ali ibn Abi Thalib tidak berbeda jauh dengan pemerintahan
dua Khalifah sebelumnya, Namun langkah yang diterapkan tidak setegas
sebelumnya. Dalam sebuah kesempatan , Utsman meminta para sahabat agar tidak
meriwayatkan hadis yang tidak mereka dengar pada zaman Abu Bakar dan Umar. Namun pada dasarnya, periwayatan
hadis pada masa pemerintahan ini lebih banyak dari pada pemerintahan sebelumnya
(Suntiah,2011;32).
Sementara pada masa pemerintahan Ali ibn
Abi Thalib, situasi pemerintahan telah berbeda dengan masa – masa sebelumnya.
Masa ini merupakan masa krisis dan fitnah dalam masyarakat. Secara tidak
langsung berdampak negatif dalam periwayatan hadits. Kepentingan politik telah
mendorong pihak-pihak tertentu untuk melakukan pemalsuan hadits. Dengan
demikian tidak seluruh periwayat hadits
dapat dipercaya riwayatnya (Suntiah,2011;32).
Dalam perkembangannya, periwayatan hadits
yang dilakukan oleh para sahabat berciri pada 2 tipologi periwayatan:
a.) Dengan
menggunakan lafal hadits asli, yaitu menurut lafal yang diterima dari
Rasulullah saw;
b.) Hanya
maknanya saja karena mereka sulit menghafal lafal redaksi hadits persis dengan
yang disabdakan Rasulullah saw (Suntiah,2011;33)
Pada masa pembatasan periwayatan, para
sahabat hanya meriwayatkan hadits jika ada permasalahan hukum yang mendesak.
Namun dengan dalil dan saksi yang kuat. Bahkan jika di perlukan, meraka rela
melakukan perjalanan jauh hanya untuk mencari kebeneran hadits yang diriwayatkannya
itu (Suntiah,2011;30).
3.) Hadits
pada Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar
Pada masa ini dikenal dengan masa
terbesarnya riwayat hadits ke kota – kota. Pada dasarnya periwayatan yang di
lakukan oleh kalangan tabi’in tidak berbeda dengan yang di lakukan oleh para sahabat. Pada
masa ini Al- Qur’an sudah di kumpulkan
delam satu mushaf. Dan khususnya pada masa kekhalifahaan Utsman, para ahli hadits menyebar ke beberapa
wilayah kekuasaan islam. Kepada merekalah para tabi’in mempelajari hadits.
a.) Pusat
pusat pembinaan hadits :
Ada beberapa kota – kota sebagai pusat
pusat pembelajaran hadits ,antara lain :
kota Madinah Al-Munawwarah, Mekkah Al Mukarramah, Kufah, Basrah, Syam, Mesir,
Maghribi dan Andalusia atau Spanyol, Yaman dan Khurasan (Suparta,2011 ;85).
b.) Pergolakan
politik dan pemalsuan hadits
Munculnya hadits – hadits palsu (mauhu)
untuk mendukung kepentingan politiknya masing – masing kelompok dan menjatuhkan
posisi lawan – lawannya. Di satu sisi memiliki dampak positif dimana lahirnya
usaha dan rencana yang mendorong diadakannya kodifikasi atau tadwin hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan
dan pemalsuan sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut (Suparta,2011
;86).
3.
Eksistensi
Hadits Pada Abad Ke-2 Hijriyyah
Pada masa ini Al Qur’an sudah terkumpul
dalam satu mushaf. Tapi pengkodifikasian hadits lagi lagi menemukan perkara sukar, yakni sudah berpencarnya para
periwayat hadits dari kalangan sahabat ke berbagai daerah, apalagi pada awal
pemerintahan Bani Umayah (Zein,2016;63).
Pengkodifikasian hadits secara resmi
baru dilakukan ketika pemerintahan dipegang oleh Umar bin Abdul Aziz (Sebagai
Khalidah ke 8 dari dinasti Bani Umayyah tahun 99 H), dimana ketika itu sudah
terbentuk Lembaga Kodifikasi Hadits. (Zein,2016;63)
Yang melatarbelakangi pengkodifikasian
hadits :
a.) Banyak
Penghafal hadits yang meninggal dunia, baik karena sudah lanjut usia maupun
gugur dalam perang;
b.) Al
Qur’an sudah berkembang begitu luas dalam masyarakat dan telah dikumpulkan
menjadi mushaf, karenanya tidak perlu dikhawatirkan lagi hadits bercampur
dengan Al Qur’an;
c.) Islam
telah mulai melebarkan syi’arnya melampaui jazirah arab, sementara hadits
sangat diperlukan untuk menjelaskan Al Qur’an (Zein,2016;64).
Pada abad kedua, para ulama dan
aktifitas kodifikasi hadis tidak melakukan penyaringan dan pemisahan, mereka
tidak membukukan hadits – hadits saja, tetapi fatwa sahabat dan tabi’in juga
dimasukan kedalam kitab-kitab meraka (Suntiah, 2011: 101).
Pada abad kedua ini ulama yang berhasil
menyusun kitab tadwin dan sampai pada
kita adalah Malik ibn Anas yang menyusun Kitab al-Muwaththa. Kitab ini
disusun sejak tahun 143 H. Kitab ini tidak hanya memuat hadits Rasul saja
,tetapi juga ucapan sahabat dan Tabi’in bahkan tidak sedikit berupa pendapat
malik sendiri atau praktik ulama dan masyarakat Madinah (Suntiah,2011 : 102)
Abad kedua ini juga diwarnai dengan
meluasnya pemalsuan hadits yang telah ada semenjak masa khalifah ‘Ali ibn Abi
Thalib dan menyebabkan sebagian ulama pada abad ini tergugah untuk mempelajari
keadaan para periwayat hadits, disamping pada waktu itu memang banyak periwayat
yang lemah, meskipun tidak berarti pada abad petama tidak ada perhatian sama
sekali terhadap keberadaan al-ruwah
(keberadaaan para periwayat hadits) semakin diintensifkan meskipun saat itu belum
terbentuk ilmu al-Jarh wa al-Ta’dil dalam
bentuk disiplin ilmu yang mandiri (Suntiah,2011 : 102).
4.
Eksistensi
Hadits Pada Abad Ke-3 Hijriyyah
Masa ini dikenal dengan masa penyaringan
dan pensyarahan Hadits. Hal ini gencar dilakukan ketika kursi pemerintahan
dipegang oleh dinasti Abbasiyyah, terutama di jaman al Ma’mun sampai Al
Muqtadir (201 – 300 H) (Zein,2016;66). Abad ke 3 ini dilakukan penyaringan dan
pemisahan antara sabda Rasulullah dengan fatwa sahabat dan tabi’in. Periode
penyeleksian ini terjadi karena pada masa tadwin belum bisa dipisahkan antara
hadits marfu’, mawaquf, dan maqthu, hadits yang dha’if dari yang shahih. Materi
kodifikasi yang dibukukan pada abad ini dipisahkan antara hadits Nabi, pendapat
sahabat dan tabi’in, meskipun hadits – hadits yang dihimpun tidak diterangkan
antara yang shaih, hasan dan dha’if. Mereka hanya menulis dan mengumpulkan hadits
– hadits nabi lengkap dengan sanadnya, yang kemudian kitab-kitab hadits hasil
karya mereka disebut dengan istilah
Musnad (Suntiah,2011 : 103).
Meskipun dilakukan penyeleksian, hadits
– hadits yang disusun dalam kitab-kitab musnad masih tercampur antara hadits
yang shahih, hasan dan dha’if. Karena itu kemudian bangkitlah ulama – ulama
hadits pada pertengahan abad III Hijriah untuk memilih hadits – hadits shahih
saja. Aktifitas ini dimulai oleh Ishaq ibn Rawyh yang berusaha memisahkan
hadits – hadits yang shahih dengan yang tidak. Kemudian pekerjaan yang mulia
ini disempurnakan oleh al-Imam Abu ‘Abdullah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari
dengan menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama al-Jami’ al-Shahih atau Kitab Shahih al-Bukhari (Suntiah,2011 :
104).
Pada abad ini dari sekian banyak kitab
yang menempati peringkat pertama adalah Shahih al-Bukhari kemudian Shahih
Muslim (Suntiah,2011 : 104).
5.
Eksistensi
Hadits Pada Abad Ke-4 sampai Ke-5 Hijriyyah
Pada masa ini terjadi dua pemisahan pola
dan sistem pemikiran dikalangan para ulama, yang bahkan menjadi awal terjadinya
pemisahan antara kelompok ulama mutaqaddimin (Ulama yang hidup sebelum tahun
300 H) dan mutaakhirin (ulama yang hidup setelah tahun 300 H) (Zein,2016;67)..
Pada masa ini masih ditemukan banyak ulama
meskipun kapasitas keilmuannya tidak banyak yang setara dengan pendahulunya
(Zein,2016;67)..
Pembukuan hadis pada periode ini lebih
mengarah pada usaha mengembangkan variasi pen-tadwin-an terhadap kitab – kitab hadits yang sudah ada.
Setelah beberapa tahun para ulama mengalihkan perhatian untuk menyusun kitab - kitab
yang berbentuk jawami, takhrij, athraf, syarah,
dan mukhtashar, dan menyusun hadits untuk topik – topik tertentu
(Suntiah,2011 : 106).
Dengan demikian usaha – usaha ulama hadits
pada abad ini meliputi beberapa hal berikut:
a.) Mengumpulkan
hadits – hadits al-Bukhari dan Muslim dalam sebuah kitab sebagaimana dilakukan oleh
Ismail ibn Ahmad yang kenal dengan sebutan Ibn al-Furat dan Muhammad ibn ‘Abd Allah al-Jawzaqa dengan kitabnya
al-Jami’bayn al-Shahihayn,
b.) Mengumpulkan
hadits – hadits dalam kitab yang enam dalam sebuah kitab,
c.) Mengumpulkan
hadits – hadits dari berbagai kitab kedalam satu kitab,
d.) Mengumpulkan
hadits – hadits hukum dalam satu kitab hadits,
e.) Menyusun
pokok – pokok (pangkal – pangkal) hadits yang terdapat dalam kitab Shahih al
–Bukhari dan Muslim sebagai petunjuk kepada materi hadits secara keseluruhan,
f.) Men-takhrij
dari kitab – kitab hadits tertentu, kemudian meriwayatkannya dengan sanad
sendiri dari sanad yang sudah ada dalam kitab-kitab tersebut (Suntiah,2011 :
107).
6.
Eksistensi
Hadits Pada Abad Ke-6 Hijriyyah sampai Sekarang
Pada tahun 656 H, pemerintahan
Abbasiyyah pindah ke tangan bangsa Turki. Pusat pemerintahannya pun dialihkan
ke Kairo, Mesir. Dan hingga akhir abad 7, semua wilayah islam dapat
dikuasainya, kecuali daerah Barat Maroko. Bahkan pada pertengahan abad ke 9,
kota konstantinopel dan Mesir berhasil direbut, dan sejak itulah raja Turki
menggunakan sebuatan Khalifah (Zein,2016;68).
Etika itu Imperialisme dan politik
divide et empire melumpuhkan islam, menggrogoti karakter umatnya, serta
mengekang kebebasan para ulama dalam bertukar informasi dan pemikiran. Keadaan
ini membuat penyampaian ajaran Nabi Saw tidak dapat dilakukan langsung secara
lisan, hingga para ulama mau tak mau harus menggunakan sistem surat menyurat
dan ijazah. Akibatnya kegiatan penelitian terhadap perawi hadits terhenti
(Zein,2016;68-69).
Pada periode ini juga dilakukan
pensyarahan, penghimpunan dan pengembalian hadits hadits koleksi imam imam
terdahulu. Untuk kemudian dicarikan sanad yang lain, dikomentari dan diberikan
pembahasan. Maksudnya para muhaddits periode ini memfokuskan mereka pada
pensyarahan kitab kitab karya muhaddits terdahulu. Disamping itu, juga
menerbitkan kandungan kitab – kitab hadits dengan cara memilih dan memilah,
serta mengumpulkan hadits hadits hukum dalam satu kitb, kegiatan ini berlangsung
sampai abad ke 12 H(Zein,2016;69).
Kodifikasi hadis yang dilakukan pada
abad ketujuh dilakukan dengan cara
menertibkan isi kitab – kitab hadits, menyaringnya, dan menyusun kitab – kitab
takhrij, membuat kitab – kitab jami’ yang umum, kitab – kitab yang mengumpulkan
hadits – hadits hukum, men-takhrij hadits – hadits yang terdapat dalam beberapa
kitab, men-takhrij hadits – hadits yang
terkenal di mayarakat, menyusun kitab athraf, mengumpulkan hadits – hadits yang
belum di tashih oleh ulama sebelumnya, mengumpulkan hadits – hadits tertentu
sesuai topik dan mengumpulkan hadits dalam jumlah tertentu(Suntiah,2011 : 109).
BAB III
KESIMPULAN
Secara garis besar, dalam sejarah
peristiwa pengkodifikasian hadits, terdiri dari 7 periode, yaitu :
1. Abad
1 H, terdiri dari 3 periode :
Pertama, dikenal degan turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat
islam.
Kedua, masa khulafaur rasyidin atau
masa sahabat agung, yang dikenal dengan masa pengokohan dan penyederhanaan
riwayat.
Ketiga, masa sahabat kecil dan tabi’in
besar atau apa yang lebih dikenal dengan masa terbesarnya riwayat hadits ke
kota – kota.
2. Abad
2 H
Masa
pemerintahan khilafah Umar bin Abdul Aziz kemudian dikenal dengan masa
penulisan dan kodifikasi hadits.
3. Abad
3 H
Masa
penyaringan hadits dan pensyarahannya. Adapun orang yang pertama melakukan
penyaringan hadits shahih ialah Ishaq Ibn Rahawaih, kemudian dilanjutkan oleh
Imam Bukhari, lalu oleh Imam Muslim Muridnya.
4. Abad
4 H - Sekarang
Dikenal
dengan masa pembersihan, penyusunan, penambahan, dan pengumpulan.
Daftar Pustaka
Idri. 2010. Studi Hadits Edisi Pertama (Cetakan ke-1). Jakarta
: Kencana.
Shiddieqy, Hasbi Ash.1965.Sedjarah Perkembangan
Hadists.Yogyakarta:
Suparta,Munzier.2011.Ilmu
Hadis(Cetakan ke-7).Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.
Suntiah, Ratu dan
Maslani. 2011. Ikhtisar Ilmu Hadits. Bandung
: Sega Arsy.
Zein, M Ma’shum. 2016. Ilmu Memahami Hadits Nabi (Cetakan ke-1). Yogyakarta : Pustaka
Pesantren.